LISANRAKYAT, GORONTALO – Media sosial kembali diramaikan dengan aksi tidak terpuji seorang konten kreator. Tiktokers bernama Ajay Rotinsulu diduga kuat melakukan pencemaran nama baik terhadap seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNG) melalui fitur stitch/duet di aplikasi TikTok.
Video yang dijadikan bahan duet sejatinya hanyalah potongan sepuluh detik dari live TikTok aksi demonstrasi pada Jumat (29/8). Dalam potongan video itu, mahasiswi UNG menyampaikan:
“Adik-adik mahasiswa angkatan 2025 jangan masuk polisi, nanti jadi bodok.”
Kalimat tersebut sejatinya merupakan metafora kekecewaan terhadap perilaku aparat yang belakangan dinilai bertindak di luar fungsi sebagaimana amanat undang-undang. Namun, kritik tersebut dipelintir Ajay menjadi serangan pribadi.
Alih-alih memberi tanggapan kritis, Ajay justru melontarkan kalimat melecehkan:
“Jangan sama kayak mahasiswi ini yang jual diri,”
Pernyataan itu dinilai publik sebagai penghinaan vulgar terhadap martabat mahasiswi UNG, bahkan masuk kategori pencemaran nama baik.
Secara hukum, pernyataan Ajay Rotinsulu dapat dijerat sejumlah pasal, di antaranya:
•Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan ancaman pidana 4 tahun penjara dan/atau denda Rp750 juta.
•Pasal 310 KUHP tentang penyerangan kehormatan atau nama baik.
•Pasal 311 KUHP jika tuduhan tidak terbukti dan dilakukan dengan maksud merusak nama baik, maka pelaku dapat dihukum lebih berat.
Dengan dasar hukum tersebut, apa yang dilakukan Ajay tidak bisa dianggap sekadar “candaan digital”, melainkan sebuah tindak pidana nyata.
Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UNG, Sandi Idris, mengecam keras tindakan Ajay. Menurutnya hal itu merupakan pelanggaran hukum yang harus diproses agar memberikan efek jera kepada yang bersangkutan
“Ini bukan sekadar konten, ini penghinaan terhadap martabat seorang mahasiswi. Kami dari Senat Fakultas Hukum akan mengawal penuh proses hukum. Fitnah dan pelecehan seperti ini tidak boleh dibiarkan hidup di ruang digital,” tegas Sandi.
Ia menambahkan, kasus ini telah menambah luka korban yang sebelumnya sudah mengalami doxing dan teror digital.
“Ketika ruang digital dijadikan arena melecehkan perempuan, ini bukan hanya persoalan individu, tapi persoalan kemanusiaan. Tindakan Ajay adalah bentuk nyata kekerasan berbasis gender yang harus dihentikan,” sambungnya.
Kasus ini memperlihatkan wajah lain demokrasi digital di Indonesia. Kritik mahasiswa yang seharusnya dipandang sebagai kontrol sosial, justru dipelintir menjadi fitnah dan penghinaan.
“Publik diingatkan: fitnah bukan konten, kebebasan berekspresi bukan tiket untuk melecehkan orang lain. Jika praktik seperti ini dibiarkan, media sosial bukan lagi ruang demokrasi, melainkan arena persekusi,” umbuhnya.(redaksi/lisanrakyat)